Semua sudah siap, tempat, perlengkapan dan
semua peralatan serta para pesakitan yang akan menerima surat keputusan
“Mengabdi atau Bebas Mengabdi”. Yah.. sepertinya istilah pesakitan kurang tepat
digunakan, tapi ane belum nemu istilah yang pas untuk hal ini.
Pagi hari semua santri akhir KMI sudah
bergegas mempersiapkan diri, dari mandi,nyetrika jas – celana dan kemeja. Tak
lupa yang gak biasa pake minyak wangi hari itu pake minyak wangi modal minta ke
temen, maklum Sidang Yudisium atau Pembacaan Keputusan Mengabdi kala itu masih
dicampur satu ruangan antara santriwan dan santriwati. Yang engga punya
pasangan aja pake minyak wangi, apalagi yang punya someone bisa lebih lagi
keleusss..haha, mungkin pake minyak sayur mba dapur haha.pisss
Spekulasi nama – nama yang akan mengabdi
sudah bermunculan, dari si – A sampai si – Z. Tapi mengabdi atau bebas mengabdi
bukanlah hal yang penting untuk dibahas kali ini. Karena kedua keadaan tersebut
sama – sama memiliki beban dan meminta sebuah pertanggungjawaban.
Yoyoy..pertanggungjawaban dari tempaan pendidikan para Suyukh dan asatidz –
asatidzah selama 6 tahun di ma’had.
Dari kata “Anjing”, dibilang “Goblok”
dianggap “adanya seperti gak ada” semuanya Pendidikan. Karena “Apa yang kita
dengar, apa yang kita lihat, apa yang kita rasakan, Itu semua Pendidikan”.
Begitu koar- koar mereka selalu kepada kami. Dan kami malah menimpalinya dengan
telinga keledai yang pura- pura dungu kala itu. Munafik! Kelakuan para santri
yang acuh padahal mereka membutuhkan itu suatu hari nanti.
Tiba keputusan siapa yang mengabdi dan siapa
yang dibebaskan mengabdi. Para Guru hanya menitipkan satu hal kepada kami,
bahwa dimanapun kalian mengabdi perlu diingat bahwa Nama Almamater selalu ada
pada diri dan Perangai kalian. Istilah kasarnya mah eta ngaran Ma’had aya di
jidat maneh Tong.
Meski tak banyak, namun tidak bisa dibilang
sedikit bahwa para asatidz yang mengabdi semakin menjadikan diri mereka mulia
dan meneruskan ajaran Rosul Saw mengajarkan agama dan sunnah kepada para
pelancong pencari Ilmu. Sementara para santri yang dibebaskan mengabdi kembali
berkutat dengan masalah kemandirian pasca ma’had.
Namun tak jarang pula, ada perilaku yang
terbalik. Karena memang paradigma yang diperlihara pun terbalik. Para pengabdi
ilmu itu bermasalah dengan kemandirian mereka, sementara para laskar bebas
pengabdian semakin menemukan jati diri setelah lama bergemul dalam kubangan
hitam dunia malam. Yoi bro… semua itu karena kurangnya rasa bersyukur dan
terlalu banyak melihat keluar diri ketimbang kedalam diri sendiri.
Coba seandainya semua kegiatan dan rutinitas
di ma’had kembali dan senantiasa diterapkan. Bukan hanya akan muncul Hamka –
Hamka dan M Natsir dan cendikianwan muslim besar lainnya, tetapi akan muncul
para saintis yang perangainya membumi dan amalnya melangit, seperti Ibnu Sina
dan Algorithm yang kita kenal sampai saat ini.
Bayangkan saja, kami harus bangun jam 03:30
WIB dini hari untuk bersiap sholat subuh berjama’ah. (waktu mengikuti
fleksibilitas daerah yah..haha). sambil masih ileran dan mata merem melek semua
santri berangkat ke masjid. Meskipun di masjid kebanyakan tidur lagi,
setidaknya mereka pasti subuh berjama’ah. Selepas subuh berjama’ah semuanya
mengaji yang dipimpin satu orang menggunakan mic. Yang tidur bakalan kena
cambuk pake sarung, atau disiram setelah ngaji selesai.
Selepas tadarusan, semua santri sudah siap
dengan kutaibnya alias buku kosa kata. Bagian bahasa dan para pengurus asrama
bersiap di dalam kelas untuk membagikan kosa kata B Arab dan B Inggris.
Bayangkan jika kegiatan ini terus dilakukan setiap hari, tak perlu lagi ada
lembaga penerjemah atau privat, karena semuanya sudah di backup di ma’had.
Dan segudang kegiatan serta rutinitas yang
lainnya. Bayangkan jika semua pengabdian dan para alumni bebas ngabdi ini
mengistiqomahkan kegiatan – kegiatan positif ini, betapa bangganya saya menjadi
seorang muslim yang pernah mengenyam pendidikan ma’had.
So… untuk apa lantas yang mengabdi memandang
terlalu lama ke kehidupan di luar ma’had yang penuh carut marut dan fitnah,
ketimbang pendidikan para santri yang perlu dibekali pendidikan moral dan
keagamaan. Dan untuk apa para jiwa bebas ngabdi terlalu lama berkutat dengan
kesenangan di masa muda..? bukankah masa muda adalah seburuk buruknya perusak
bagi seseorang..? bukankah dalam Islam yang dicari adalah kebaikan bukan
kesenangan.
Seperti lagu Bung Oma :”Mengapa semua yang
enak – enak, itu yang dilarang?.....itulah perangkap syaithan, umpannya ialah
bermacam – macam” . goyang mas …serrrrr..hahahaha.
Lebih baik kecil tapi masuk dalam hitungan,
dari pada besar tapi tidak diperhitungkan.
Ini bukan sebuah pembelaan terhadap para
laskar yang dibebaskna mengabdi, ataupun sebuah jugdement kepada para pengabdi.
Ini hanya sebuah coretan seorang #mantansantri yang merindukan kesantriannya.
Hahaha.
Salam damai Bung !!! Teruskan perjuangan
pendidikan Bangsa Negeri Ini. Semua bergantung Padamu Guru!!!.
No comments:
Post a Comment